Di bulan Juli 2012 mendadak gue
dan Fatah landing di Makassar berkat
tiket one way promo seharga 78 ribu,
tanpa tiket pulang. Dengan masih terbengong-bengong melihat megahnya Bandara
Sultan Hasanuddin Makassar, gue dan Fatah berjalan terburu-buru menuju lantai
dasar Bandara. Bukannya apa-apa, waktu itu kita dikejar-kejar oleh salah satu
supir taksi bandara yang rupanya salah sangka dan mengira kita akan naik taksi
dia. Kita berdua akhirnya bisa bebas setelah meminta maaf dan bilang bahwa
akan dijemput oleh salah seorang teman (padahal bohong huahaha)
Langit-langit bandara Sultan Hasanuddin yang megah plus papan nama toko yang terjemahannya nggak nyambung, Indonesiah :))
Di lantai bawah, gue menyempatkan
diri ke toilet dan melihat seorang mbak-mbak penjaga toilet yang lagi standby. Karena menurut google kita harus naik shuttle bus untuk sampe gerbang luar bandara guepun berinisiatif bertanya
kepada mbak-mbak itu.
“Maaf, permisi mbak, kalau mau naik shuttlebus dari sebelah mana yah?” tanya gue seramah mungkin.
Bukannya jawaban yang gue
dapatkan, mbak-mbak tadi hanya menggerakkan tangannya menunjuk suatu arah dibarengi
dengan monyongan bibir ke arah yang sama, tanpa senyum dan kata sedikitpun. Oke
saat itu gue nggak mikir apa-apa, gue hanya berpikir mbaknya habis salah makan
sehingga ia sakit gigi. Oke nggak nyambung.
Bla bla bla karena bingung akhirnya
kitapun batal naik angkot dan tetep naik taksi dengan bapak taksi yang menurut
guepun kurang ramah. Tapi pikiran itu masih gue simpan saja rasa dihatimu.
Beberapa hari perjalanan kita,
akhirnya gue menyadari sesuatu hal yang juga kemudian gue utarakan ke Fatah. Orang Makassar
rupanya memang tidak terlalu ramah dan tidak begitu suka basa-basi! Ini
bukannya bermaksud untuk mendeskreditkan (apatuh artinya?) atau memberikan
makna konotasi lho, ini murni penilaian gue, yang kalo dibandingin dengan
orang-orang di Jawa. Dan Fatah sendiri yang nenek kakeknya asli Bugis
meng-iya-kan hal itu sambil cengar cengir. Wah pantesan aja mbak-mbak di
bandara waktu itu begitu! Urusan orang lain tidak terlalu menjadi hal penting
(alias gak kepo, bagus tuh yee) dan basa-basi memang seperlunya saja. Semua gue
sadari dari mulai supir taksi, penjual makanan, supir becak dan orang-orang
lain yang kita temui.
Tapi perlu diinget dan dicatat, kita nggak
bisa menggeneralisasi semua orang Makassar itu kaya yang gue rasa lho, justru
dengan keragaman ini kita harus maklum dan saling menghargai perbedaan yang ada
di Indonesia kita tercinta dan nggak boleh kaget-kaget amat apalagi sakit hati
karena perlakuan itu hehehe. Contohnya aja pernah ada tuh temen gue cerita
bahwa doi terkaget kaget waktu mau belanja di salah satu pusat perbelanjaan di
Samarinda mbak-mbak penjualnya terkesan cuek dan nggak terlalu meladeni pembeli
kaya biasa di Tanah Abang akhirnya dia bete dan lebih memilih pulang hahaha!
Oh iya, selain hal tadi gue juga
menyadari hal lain. Selama perjalanan kita, kita sering banget di klakson
kendaraan dan juga mendengar bunyi klakson! Padahal kita jalan termasuk
dipinggir dan ketika kita nengok ke belakang itu mobil jaraknya masih jauh banget
berasa adegan sinetron! Doh! Ini sungguh berbeda 360 derajat sama waktu
perjalanan kita ke Bangka dimana kita jaraaaaang banget denger suara klakson
sampai kita berpikir orang-orang sana lupa caranya menggunakan klakson huahaha
Nah, itu tadi sedikit hal yang
gue notice tentang Makassar yang agak
berbeda dari keseharian kita disini, semoga bisa menambah pengetahuan yah.
Penasaran gimana caranya kita berdua kembali ke Jakarta tanpa tiket pulang?
Ceritanya ada di sini.
0 comments:
Post a Comment
Jangan segan untuk komen / bertanya / sharing ya! :)